SAYANGI ANAK YATIM
Allah telah menakdirkan di antara hambanya terlahir dalam keadaan yatim. Anak-anak yatim hadir di tengah-tengah kita agar menjadi bagian dari tanggung jawab kita sekalipun tidak ada pertalian darah dengan kita. Sebab, anak yang kehilangan orang tuanya seakan-akan seperti sudah kehilangan segalanya. Saat itu, terputuslah kehangatan kasih sayang orang tua.
Allah menakdirkan demikian pastilah ada hikmah yang dapat dipetik. Di balik itu, Allah mengaruniakan keutamaan bagi mereka yang sabar atas kondisi tersebut sekaligus sebagai kebun pahala bagi yang menyantuni mereka.
Islam Memuliakan Anak Yatim
Sebenarnya, bagaimana kedudukan anak yatim di dalam Islam? Sebelumnya kita lihat dahulu pengertiannya. Istilah yatim berasal dari bahasa Arab; yatama, yaitamu, dan yatmu yang berarti sedih atau bermakna sendiri. Adapun secara syar’i ialah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh (dewasa). Adapun setelah baligh, tidak lagi disebut yatim. Ibnu Abbas pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan umur status anak yatim, Ibnu Abbas menjawab bahwa sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa.
Sedangkan kata piatu bukanlah dari bahasa Arab, kata ini dalam bahasa Indonesia dinisbatkan kepada anak yang ditinggal mati oleh Ibunya, sehingga anak yatim-piatu adalah anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Di dalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi anak-anak yang masih memiliki kedua orang tua. Islam memerintahkan kaum muslim untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah ini.
Kehilangan orang tua dapat menggoncang jiwa seorang yang telah dewasa, apalagi bagi seorang anak, tentunya akan terasa lebih berat. Orang yang selama ini menyayanginya, memperhatikannya, menghibur dan menasehatinya telah tiada. Betapa ajaran Islam menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi, Islam mengajarkan untuk mengasihi mereka dan melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِىْ أُمَامَة عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيْمٍ أَوْ يَتِيْمَةٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلاَّ لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مَرَّتٍ عَلَيْهَا يَدَهُ حَسَنَاتٍ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيْمَةٍ أَوْ يَتِيْمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِى الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَقَرْنَ بَيْنَ أَصَبِعَيْهِ (رواه أحمد)
Abu Umamah menuturkan bahwa Nabi n berkata, “Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia di surga seperti ini, beliau menyejajarkan dua jari-nya.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاس قَالَ لَمَا أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّبِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ) وَ (إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا) اَلْأَيَةُ انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيْمٌ فَعَزَلَ طَعَامَهُ مِنْ طَعَامِهِ وَشَرَابَهُ مِنْ شَرَابِهِ فَجَعَلَ يَفْضَلُ مِنْ طَعَامِهِ فَيَحْبَسُ لَهُ حَتَّى يَأْكُلُهُ أَوْ يُفْسِدُ فَاشْتَدَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَ إِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ) فَخَلَطُوْا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِ وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِ
Ibnu Abbas menuturkan, “Ketika Allah Azza wa jalla menurunkan ayat “janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang hak” dan “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan zalim” ayat ini berangkat dari keadaan orang-orang yang mengasuh anak yatim, di mana mereka memisahkan makanan mereka dan makanan anak itu, minuman mereka dan minuman anak itu, mereka mengutamakan makanan anak itu dari pada diri mereka, makanan anak itu diasingkan di suatu tempat sampai dimakannya atau menjadi basi, hal itu sangat berat bagi mereka kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah n Lalu Allah menurunkan ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak yatim. katakanlah berbuat baik kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kalian bercampur dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu.” Kemudian orang-orang itu menyatukan makanan mereka dengan anak yatim.
Saudara pembaca, Islam memandang tinggi kedudukan anak yatim di dalam masyarakat. Sampai Allah sendiri menyebutkan tentang mereka di dalam ayat-ayat-Nya yang mulia untuk mengingatkan kepada kita akan kedudukan mereka itu. Bahkan diulang-ulang di dalam Al-Qur’an sehingga umat muslim dapat merenungi dan mengamalkannya.
Allah menakdirkan demikian pastilah ada hikmah yang dapat dipetik. Di balik itu, Allah mengaruniakan keutamaan bagi mereka yang sabar atas kondisi tersebut sekaligus sebagai kebun pahala bagi yang menyantuni mereka.
Islam Memuliakan Anak Yatim
Sebenarnya, bagaimana kedudukan anak yatim di dalam Islam? Sebelumnya kita lihat dahulu pengertiannya. Istilah yatim berasal dari bahasa Arab; yatama, yaitamu, dan yatmu yang berarti sedih atau bermakna sendiri. Adapun secara syar’i ialah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum dia baligh (dewasa). Adapun setelah baligh, tidak lagi disebut yatim. Ibnu Abbas pernah menerima surat dari Najdah bin Amir yang berisi beberapa pertanyaan, salah satunya tentang batasan umur status anak yatim, Ibnu Abbas menjawab bahwa sesungguhnya predikat itu putus bila ia sudah baligh dan menjadi dewasa.
Sedangkan kata piatu bukanlah dari bahasa Arab, kata ini dalam bahasa Indonesia dinisbatkan kepada anak yang ditinggal mati oleh Ibunya, sehingga anak yatim-piatu adalah anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Di dalam ajaran Islam, mereka semua mendapat perhatian khusus melebihi anak-anak yang masih memiliki kedua orang tua. Islam memerintahkan kaum muslim untuk senantiasa memperhatikan nasib mereka, berbuat baik kepada mereka, mengurus dan mengasuh mereka sampai dewasa. Islam juga memberi nilai yang sangat istimewa bagi orang-orang yang benar-benar menjalankan perintah ini.
Kehilangan orang tua dapat menggoncang jiwa seorang yang telah dewasa, apalagi bagi seorang anak, tentunya akan terasa lebih berat. Orang yang selama ini menyayanginya, memperhatikannya, menghibur dan menasehatinya telah tiada. Betapa ajaran Islam menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi, Islam mengajarkan untuk mengasihi mereka dan melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِىْ أُمَامَة عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَسَحَ رَأْسَ يَتِيْمٍ أَوْ يَتِيْمَةٍ لَمْ يَمْسَحْهُ إِلاَّ لِلَّهِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مَرَّتٍ عَلَيْهَا يَدَهُ حَسَنَاتٍ وَمَنْ أَحْسَنَ إِلَى يَتِيْمَةٍ أَوْ يَتِيْمٍ عِنْدَهُ كُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِى الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ وَقَرْنَ بَيْنَ أَصَبِعَيْهِ (رواه أحمد)
Abu Umamah menuturkan bahwa Nabi n berkata, “Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan karena Allah, adalah baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu terdapat banyak kebaikan, dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, adalah aku bersama dia di surga seperti ini, beliau menyejajarkan dua jari-nya.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاس قَالَ لَمَا أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّبِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ) وَ (إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا) اَلْأَيَةُ انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيْمٌ فَعَزَلَ طَعَامَهُ مِنْ طَعَامِهِ وَشَرَابَهُ مِنْ شَرَابِهِ فَجَعَلَ يَفْضَلُ مِنْ طَعَامِهِ فَيَحْبَسُ لَهُ حَتَّى يَأْكُلُهُ أَوْ يُفْسِدُ فَاشْتَدَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَذَكَرُوْا ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَ إِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ) فَخَلَطُوْا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِ وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِ
Ibnu Abbas menuturkan, “Ketika Allah Azza wa jalla menurunkan ayat “janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang hak” dan “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan zalim” ayat ini berangkat dari keadaan orang-orang yang mengasuh anak yatim, di mana mereka memisahkan makanan mereka dan makanan anak itu, minuman mereka dan minuman anak itu, mereka mengutamakan makanan anak itu dari pada diri mereka, makanan anak itu diasingkan di suatu tempat sampai dimakannya atau menjadi basi, hal itu sangat berat bagi mereka kemudian mereka mengadu kepada Rasulullah n Lalu Allah menurunkan ayat, “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak yatim. katakanlah berbuat baik kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kalian bercampur dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu.” Kemudian orang-orang itu menyatukan makanan mereka dengan anak yatim.
Saudara pembaca, Islam memandang tinggi kedudukan anak yatim di dalam masyarakat. Sampai Allah sendiri menyebutkan tentang mereka di dalam ayat-ayat-Nya yang mulia untuk mengingatkan kepada kita akan kedudukan mereka itu. Bahkan diulang-ulang di dalam Al-Qur’an sehingga umat muslim dapat merenungi dan mengamalkannya.
No comments:
Post a Comment